Treatment PSAK 24 vs SAK EP terhadap Imbalan Pasca Kerja

Perhitungan imbalan pasca kerja merupakan aspek krusial yang sering diabaikan dalam pengelolaan keuangan perusahaan. Dua standar akuntansi yang mengatur hal ini—PSAK 24 (kini PSAK 219) dan SAK EP—memiliki pendekatan berbeda yang perlu dipahami oleh CFO dan manajemen perusahaan.

Imbalan Pasca Kerja dalam Konteks Akuntansi

Imbalan pasca kerja adalah segala bentuk kompensasi yang diberikan kepada karyawan setelah masa kerja mereka berakhir. Komponen ini mencakup pesangon, uang penghargaan masa kerja, program pensiun, dan benefit lain yang diterima saat karyawan mengalami pemutusan hubungan kerja—baik karena pensiun normal, meninggal dunia, sakit berkepanjangan, maupun resign.

Perhitungan post-employment benefits bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan representasi dari komitmen finansial perusahaan terhadap kesejahteraan karyawan di masa depan. Nilai kewajiban ini dapat mencapai miliaran rupiah, terutama untuk perusahaan dengan banyak karyawan senior yang memiliki masa kerja panjang.

PSAK 24: Standar untuk Entitas dengan Akuntabilitas Publik

PSAK 24, yang kini mengalami perubahan penomoran menjadi PSAK 219 sejak 1 Januari 2024, adalah standar akuntansi yang wajib digunakan oleh perusahaan dengan akuntabilitas publik. Kategori ini meliputi perusahaan terbuka yang tercatat di bursa efek, entitas yang berada di bawah pengawasan regulator seperti OJK, serta perusahaan yang menyusun laporan keuangan untuk kepentingan publik.

Dalam PSAK 24, perhitungan imbalan pasca kerja menggunakan metode aktuaria Projected Unit Credit (PUC) yang kompleks. Metode ini memproyeksikan seluruh kewajiban masa depan dengan mempertimbangkan berbagai asumsi seperti tingkat diskonto, proyeksi kenaikan gaji, tingkat mortalita, dan tingkat turnover karyawan. Setiap asumsi ini memiliki sensitivitas tinggi—perubahan tingkat diskonto sebesar 0,5% saja dapat mengubah nilai kewajiban hingga 8-12%.

Karakteristik utama PSAK 24 adalah pengakuan keuntungan atau kerugian aktuarial yang wajib dicatat melalui Other Comprehensive Income (OCI). Artinya, fluktuasi nilai kewajiban akibat perubahan asumsi tidak langsung mempengaruhi laporan laba rugi tahun berjalan, melainkan diakui di ekuitas. Pendekatan ini memberikan stabilitas pada laporan keuangan dan mencegah volatilitas laba yang berlebihan.

Komponen beban imbalan kerja ini terdiri dari beberapa elemen. Pertama, biaya jasa kini yang merepresentasikan kewajiban yang timbul dari layanan karyawan selama periode berjalan. Kedua, biaya jasa lalu yang muncul ketika ada perubahan kebijakan manfaat atau penerapan pertama kali. Ketiga, biaya bunga yang dihitung dari nilai kini kewajiban dikalikan tingkat diskonto.

SAK EP: Alternatif untuk Entitas Privat

SAK EP (Standar Akuntansi Keuangan Entitas Privat) mulai berlaku efektif 1 Januari 2025 sebagai pengganti SAK ETAP. Tentu lebih sistematis dan komprehensif dibandingkan pendahulunya, SAK ETAP. Standar ini dirancang khusus untuk entitas kecil dan menengah yang tidak memiliki akuntabilitas publik dan tidak menerbitkan laporan keuangan untuk kepentingan umum.

Meski SAK ini juga mengadopsi prinsip dari IFRS for SMEs dan tetap menggunakan metode aktuaria Projected Unit Credit secara lebih robust untuk menilai kewajiban imbalan pasca kerja, terdapat fleksibilitas signifikan dalam pengakuan keuntungan atau kerugian aktuarial. Dari perspektif KKA tertentu, termasuk KKA Nirmala, perusahaan yang menggunakan SAK EP memiliki dua pilihan: mengakui langsung dalam laporan laba rugi tahun berjalan, atau mencatatnya di penghasilan komprehensif lain (OCI) sebagaimana PSAK 24.

Fleksibilitas ini memberikan ruang bagi manajemen untuk memilih pendekatan yang paling sesuai dengan karakteristik bisnis mereka. Perusahaan yang menginginkan transparansi penuh dapat langsung mengakui di laba rugi, sementara yang menghendaki stabilitas dapat menggunakan metode OCI.

Quick Reference: PSAK 24 vs SAK EP

Aspek PSAK 24 (PSAK 219) SAK EP
Berlaku untuk Entitas dengan akuntabilitas publik (perusahaan terbuka, diawasi OJK) Entitas privat tanpa akuntabilitas publik
Efektif sejak 1 Januari 2024 (perubahan nomor) 1 Januari 2025 (menggantikan SAK ETAP)
Metode perhitungan Projected Unit Credit (wajib aktuaris) Projected Unit Credit (wajib aktuaris)
Pengakuan actuarial gain/loss Wajib melalui OCI Pilihan: OCI atau langsung ke laba rugi
Kompleksitas Tinggi – detail dan rigid Menengah – lebih fleksibel
Kebutuhan aktuaris Wajib aktuaris publik bersertifikat + KKA terdaftar Wajib aktuaris (lebih fleksibel)
Biaya compliance Rp 50-150 juta/tahun Relatif lebih rendah
Stabilitas laporan Tinggi (OCI tidak langsung impact laba rugi) Tergantung pilihan entitas
Pengungkapan Sangat detail dan ekstensif Lebih sederhana namun tetap informatif
Early adoption Sudah berlaku sejak awal Sudah diperbolehkan sejak sebelum 2025

Komponen Beban Imbalan Pasca Kerja

Komponen Deskripsi Dampak ke Laba Rugi
Biaya Jasa Kini (CSC) Kewajiban dari layanan karyawan periode berjalan ✓ Ya (langsung)
Biaya Jasa Lalu (PSC) Muncul saat perubahan kebijakan atau penerapan pertama kali ✓ Ya (langsung)
Biaya Bunga (Interest Cost) PVDBO awal × tingkat diskonto awal periode ✓ Ya (langsung)
Actuarial Gain/Loss Selisih asumsi vs realisasi PSAK 24: melalui OCI

SAK EP: bisa pilih

Curtailment PHK massal/penutupan program ✓ Ya (langsung)

Faktor yang Mempengaruhi Nilai Liability

Faktor Jika Naik Jika Turun
Tingkat diskonto Liability turun 8-12% Liability naik 8-12%
Proyeksi kenaikan gaji Liability naik 10-15% Liability turun 10-15%
Usia pensiun Liability turun 6-9% Liability naik 6-9%
Tingkat turnover Liability turun Liability naik
Jumlah karyawan senior Liability naik signifikan Liability turun

Tabel-tabel di atas memberikan panduan praktis dalam memahami dinamika perhitungan imbalan kerja dan membantu decision maker dalam memilih standar yang tepat serta mengantisipasi perubahan nilai kewajiban.

Implikasi Praktis: Dari Angka di Laporan ke Realitas Bisnis

Pemilihan antara kedua standar tersebut bukan sekadar urusan teknis akuntansi—ini adalah keputusan strategis yang berdampak langsung pada bottom line perusahaan. Mari kita lihat skenario konkret.

Ilustrasi Kasus: Sebuah perusahaan manufaktur dengan 100 karyawan tetap dan gaji rata-rata Rp 10 juta per bulan. Jika rata-rata masa kerja 15 tahun, potensi kewajiban imbalan kerja bisa mencapai Rp 15-25 miliar. Angka ini bukan main-main—setara dengan 15-25% dari ekuitas perusahaan menengah. Ketika nilai sebesar ini tidak teridentifikasi atau salah dihitung, konsekuensinya bisa fatal: dari opini audit yang tidak wajar hingga kesulitan akses pendanaan.

Trap yang Sering Terjadi: Banyak perusahaan, terutama yang baru mengadopsi standar akuntansi yang lebih ketat, terkejut saat pertama kali menghitung liability aktuarial. Mengapa? Karena selama ini mereka hanya mencatat pesangon saat dibayar (cash basis), bukan mengakui kewajiban yang terus bertumbuh setiap tahun (accrual basis). Hasilnya? Biaya jasa lalu yang membengkak di tahun pertama perhitungan—bisa mencapai 80-90% dari total liability—yang langsung “memukul” laporan keuangan.

Strategi Cerdas untuk PSAK 24: Perusahaan yang wajib menggunakan PSAK 24 harus melibatkan aktuaris publik bersertifikat dari Kantor Konsultan Aktuaria (KKA) terdaftar AKKAI. Investasi untuk jasa aktuaris berkisar Rp 10-50 juta per tahun, tergantung kompleksitas. Meski terlihat mahal, ini jauh lebih murah dibandingkan risiko misstatement yang bisa mengakibatkan restatement laporan keuangan atau bahkan sanksi regulator.

Peluang dalam SAK EP: Entitas privat yang memenuhi kriteria dapat memanfaatkan fleksibilitas SAK EP. Bayangkan skenario ini: perusahaan mengalami kerugian aktuarial Rp 2 miliar karena penurunan tingkat diskonto. Dengan PSAK 24, angka ini masuk OCI dan tidak langsung mempengaruhi laba rugi. Namun dengan SAK EP, manajemen bisa memilih—apakah ingin meng-smooth-kan melalui OCI atau mengakui langsung di laba rugi jika memang tidak material bagi stakeholder mereka.

Yang Perlu Diperhatikan: Terlepas dari standar yang digunakan, ada beberapa landmines yang harus dihindari:

  1. Asumsi yang Terlalu Optimistis: Menggunakan tingkat turnover 10% padahal historis hanya 3% akan mengakibatkan liability understated. Ketika realisasi berbeda, muncul actuarial loss yang menggerus ekuitas.
  2. Data Karyawan yang Tidak Akurat: Kesalahan tanggal lahir atau tanggal masuk kerja beberapa hari saja bisa mengubah perhitungan hingga ratusan juta rupiah untuk karyawan senior. Pastikan data HR terintegrasi dan ter-update.
  3. Mengabaikan Perubahan Regulasi: PP No. 35 Tahun 2021 mengubah formula pesangon dan memperkenalkan JKP. Perusahaan yang masih pakai formula lama berisiko overclaim atau underclaim—keduanya bermasalah saat audit.
  4. Lupa Faktor Pajak: Jika perusahaan menanggung PPh 21 atas pesangon, manfaat harus di-gross up. Banyak yang melewatkan ini dan liability-nya langsung kurang 15-20%.

Rekomendasi Praktis: Lakukan revaluasi aktuaria minimal setahun sekali, idealnya bersamaan dengan audit tahunan. Untuk perusahaan dengan perubahan signifikan (merger, akuisisi, atau restrukturisasi besar), pertimbangkan interim valuasi untuk menghindari kejutan di akhir tahun. Nilai imbalan pasca kerja adalah estimasi—bukan angka pasti—sehingga monitoring berkelanjutan adalah kunci.


Disclaimer: Artikel ini bersifat informasi umum. Untuk penerapan spesifik, konsultasikan dengan aktuaris bersertifikat dan auditor eksternal Anda. Baik PSAK 24 maupun SAK EP memiliki tujuan yang sama: memastikan perusahaan mengakui dan mengukur kewajiban imbalan pasca kerja secara wajar. Perbedaan utama terletak pada tingkat kompleksitas, fleksibilitas pengakuan, dan kategori entitas yang diwajibkan menggunakannya. Pemahaman yang komprehensif terhadap kedua standar ini memungkinkan perusahaan membuat keputusan yang tepat dalam pelaporan keuangan dan manajemen risiko liabilitas jangka panjang.

Share your love

Chat with Us!