Aktuaria 360°: Biaya Jasa Lalu, Blessing atau Curse saat Mengubah Program Pensiun?

Keputusan untuk mengubah program imbalan pasca kerja selalu jadi dilema bagi manajemen perusahaan. Di satu sisi, meningkatkan manfaat bisa meningkatkan loyalitas dan kepuasan karyawan. Di sisi lain, konsekuensi keuangan dari perubahan ini—terutama pengakuan biaya jasa lalu (BJS)—bisa bikin geger laporan keuangan.

Nah, dengan memahami mekanisme dan implikasi biaya jasa lalu akan menjadi kunci untuk membuat keputusan finansial yang proper dan berkelanjutan untuk perusahaan.

Apa Itu Biaya Jasa Lalu?

Biaya jasa lalu atau past service cost adalah perubahan nilai kewajiban pensiun yang muncul karena perusahaan mengubah program benefit-nya. Berdasarkan PSAK 219, biaya jasa lalu harus diakui langsung saat perubahan terjadi—langsung dibebankan ke laba rugi di periode tersebut. Tidak ada cicilan atau diangsur—ini langsung “menghantam” laba perusahaan seketika.

Bayangkan begini: sebuah perusahaan dengan 500 karyawan punya rumus manfaat awal 1 bulan gaji terakhir per tahun kerja. Kewajiban yang sudah dicatat di neraca mencerminkan rumus ini. Kemudian manajemen memutuskan untuk meningkatkan rumus jadi 1,5 bulan gaji terakhir per tahun kerja supaya lebih kompetitif.

Peningkatan 50% dalam rumus manfaat ini tidak cuma berlaku untuk tahun-tahun kerja ke depan, tapi juga berlaku retroaktif untuk semua tahun kerja yang sudah dilalui karyawan. Karyawan dengan 10 tahun masa kerja yang tadinya berhak dapat 10 bulan gaji, sekarang berhak dapat 15 bulan gaji. Selisih nilai sekarang dari tambahan 5 bulan gaji ini, dikalikan semua karyawan dengan masa kerja masing-masing, itulah yang jadi biaya jasa lalu yang harus diakui langsung.

Seberapa Besar Dampaknya?

Pada praktiknya, biaya jasa lalu dari perubahan benefit bisa sangat besar. Perusahaan menengah dengan kewajiban pensiun Rp200 miliar yang meningkatkan rumus 50% bisa menghadapi biaya jasa lalu Rp80-100 miliar—langsung memukul laba periode tersebut.

Dampaknya terasa tidak proporsional karena cara pencatatannya. Biaya jasa kini (current service cost) untuk tahun kerja berjalan dari rumus baru akan diakui secara bertahap setiap tahun ke depan. Tapi biaya jasa lalu untuk puluhan tahun kerja historis diakui sekaligus. Ini yang bikin asimetris dan sering mengagetkan CFO dan dewan direksi.

Menurut sudut pandang ekonomi, sebenarnya biaya jasa lalu ini cuma mempercepat pengakuan—manfaat yang secara ekonomis memang akan tetap dibayar, cuma dicatat lebih awal di pembukuan. Tapi dalam realita tata kelola perusahaan dan pasar modal, timing pencatatan ini sangat penting. Analis dan investor bereaksi terhadap laba yang dilaporkan, dan beban one-time sebesar ratusan miliar akan memicu pertanyaan serius.

Sisi Baiknya: Moral dan Retensi Karyawan

Meski menakutkan dari sisi keuangan, ada alasan kuat kenapa perusahaan tetap melakukan perubahan yang memicu biaya jasa lalu. Pertama, peningkatan manfaat secara retroaktif sangat ampuh untuk moral karyawan. Karyawan senior dengan 20-30 tahun masa kerja akan melihat benefit mereka meningkat signifikan—ini adalah pengakuan atas kesetiaan mereka.

Dalam perang talenta, terutama di industri yang kompetitif, program benefit yang bagus jadi pembeda. Survei Payroll Integrations Employee Benefits Trends menunjukkan bahwa karyawan di atas 40 tahun makin memprioritaskan keamanan pensiun. Perusahaan yang berani meningkatkan manfaat mengirim sinyal kuat tentang komitmen mereka terhadap kesejahteraan karyawan jangka panjang.

Kedua, perubahan program benefit bisa jadi alat untuk mengelola perubahan organisasi. Saat merger atau restrukturisasi, harmonisasi paket benefit antar entitas seringkali diperlukan. Peningkatan benefit untuk entitas yang tadinya lebih rendah bisa memfasilitasi integrasi yang lebih mulus, meski memicu biaya jasa lalu.

Sisi Buruknya: Trade-off dengan Investasi Bisnis

Tapi, biaya jasa lalu yang besar bisa mengorbankan kesempatan untuk investasi produktif. Rp100 miliar yang “terpakai” untuk mengakui kewajiban retroaktif adalah Rp100 miliar yang tidak tersedia untuk belanja modal, riset, atau ekspansi bisnis—meskipun secara kas, uang itu belum benar-benar keluar.

Bagi perusahaan terbuka, reaksi pasar terhadap penurunan laba akibat biaya jasa lalu bisa parah. Meski manajemen menjelaskan bahwa ini non-cash dan one-time, pasar seringkali tetap “menghukum” harga saham. Perjanjian kredit juga bisa terpengaruh kalau ada batasan terkait rasio profitabilitas.

Dari segi tata kelola, dewan direksi harus mempertimbangkan keadilan antar generasi. Apakah adil untuk pemegang saham saat ini menanggung biaya untuk meningkatkan manfaat retroaktif karyawan yang mungkin sebagian sudah tidak produktif? Ini pertanyaan etis yang tidak punya jawaban mutlak.

Strategi Mengelola Trade-off

Perusahaan yang cerdas menggunakan beberapa strategi untuk mengelola trade-off ini. Pertama, implementasi bertahap: daripada meningkatkan 50% sekaligus, lakukan 25% di tahun pertama dan 25% di tahun ketiga. Ini menyebar biaya jasa lalu dan memberikan ruang bernapas bagi laba.

Kedua, pakai klausul grandfathering: manfaat baru hanya berlaku untuk masa kerja setelah tanggal perubahan. Ini menghilangkan biaya jasa lalu sepenuhnya, meski mengurangi dampak positif terhadap moral karyawan.

Ketiga, pendekatan hybrid: manfaat retroaktif diberikan hanya untuk karyawan dengan masa kerja di atas ambang batas tertentu (misalnya 10 tahun). Ini mem-fokuskan manfaat pada karyawan loyal sambil membatasi eksposur keuangan.

Keempat, kombinasikan dengan program lain: perubahan benefit bisa di-offset dengan perubahan di area lain seperti mengurangi bonus pool atau memperketat syarat pensiun dini. Trade-off ini harus dikomunikasikan dengan hati-hati untuk menghindari backlash.


Biaya jasa lalu bukan murni blessing atau curse—ini keputusan bisnis dengan implikasi keuangan dan organisasi yang mendalam. Peran aktuaris adalah menyediakan transparansi penuh tentang besaran, timing, dan skenario alternatif. Dengan pemodelan aktuaria dan analisis skenario yang tepat, dewan direksi bisa membuat keputusan yang seimbang antara kesejahteraan karyawan, keberlanjutan keuangan, dan kepentingan pemegang saham.

Yang pasti, keputusan mengubah benefit tidak boleh didorong oleh tekanan kompetitif semata, melainkan harus jadi bagian dari strategi total reward yang menyeluruh dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Dengan pemahaman yang baik tentang biaya jasa lalu, perusahaan bisa membuat keputusan yang menguntungkan semua pihak—karyawan, perusahaan, dan pemegang saham.

Mengingat kasus perhitungan aktuaria adalah hal yang unik, tiap perusahaan memiliki treatment masing-masing. Oleh karena itu, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan KKA Nirmala untuk mendapat insight lebih dalam dan jangan ragu untuk dapatkan penawaran di sini.

Share your love

Chat with Us!