Anomali Biaya Jasa Kini di Perusahaan dengan Tenaga Kerja Aging

Banyak perusahaan di Indonesia mengalami shock saat melihat biaya program pensiun mereka tiba-tiba melonjak drastis dalam beberapa tahun terakhir, padahal jumlah karyawan tidak bertambah—bahkan kadang berkurang. Fenomena ini terutama dialami perusahaan yang punya banyak karyawan senior dengan usia di atas 45 tahun. Dari perspektif aktuaria, ini bukan kesalahan perhitungan atau anomali statistik. Ini adalah konsekuensi matematis dari cara menghitung biaya jasa kini dalam program imbalan pasca kerja dengan skema manfaat pasti.

Apa Itu Biaya Jasa Kini?

Biaya jasa kini adalah biaya yang muncul setiap tahun karena karyawan bertambah satu tahun masa kerja. Sesuai PSAK 24, biaya ini harus dihitung dan diakui di laporan laba rugi setiap periode. Cara hitungnya menggunakan metode Projected Unit Credit—kedengarannya teknis, tapi konsepnya sederhana: kita proyeksikan berapa uang yang akan diterima karyawan saat pensiun nanti, lalu kita “tarik mundur” nilainya ke hari ini menggunakan faktor diskonto.

Ada tiga komponen penting dalam perhitungan ini: proyeksi gaji sampai pensiun, rumus manfaat (misalnya 2 bulan gaji terakhir per tahun kerja), dan tingkat diskonto. Interaksi ketiga hal ini yang membuat biaya tidak linear—bisa naik sangat tajam di tahun-tahun akhir sebelum pensiun.

Kenapa Biaya Jasa Kini Melonjak untuk Karyawan Senior?

Mari kita lihat contoh konkret yang mudah dipahami. Bayangkan dua karyawan dengan gaji saat ini sama-sama Rp20 juta per bulan:

Karyawan A:

  • Umur: 30 tahun
  • Masa kerja: 5 tahun
  • Pensiun: 26 tahun lagi (di umur 56)

Karyawan B:

  • Umur: 50 tahun
  • Masa kerja: 25 tahun
  • Pensiun: 6 tahun lagi (di umur 56)

Misalkan gaji naik 8% per tahun, diskonto 7% per tahun, dan rumus benefit 2 bulan gaji terakhir per tahun kerja.

Proyeksi Gaji Saat Pensiun:

  • Karyawan A (26 tahun lagi): Rp20 juta × (1.08)^26 = sekitar Rp158 juta
  • Karyawan B (6 tahun lagi): Rp20 juta × (1.08)^6 = sekitar Rp32 juta

Tapi tunggu dulu—meski proyeksi gaji Karyawan B lebih rendah, biaya jasa kini per tahunnya justru jauh lebih tinggi!

Biaya Jasa Kini Tahunan:

  • Karyawan A: sekitar Rp15-18 juta
  • Karyawan B: sekitar Rp60-80 juta

Lebih dari 4 kali lipat! Kenapa bisa begitu?

Efek Compound yang Tidak Adil

Paradoksnya adalah: karyawan yang hampir pensiun justru menghasilkan biaya paling tinggi per tahun, meskipun mereka cuma menambah satu tahun masa kerja—sama seperti karyawan muda.

Penyebabnya ada dua:

  1. Proyeksi gaji yang sudah tinggi Karyawan B sudah melalui 25 tahun kenaikan gaji compound. Meski proyeksi ke depannya lebih pendek, gaji aktualnya saat pensiun sudah cukup tinggi karena efek akumulasi kenaikan tahunan.
  2. Efek diskonto yang minimal Benefit untuk Karyawan B akan dibayar 6 tahun lagi—diskontonya minimal. Sementara benefit Karyawan A baru dibayar 26 tahun lagi, jadi present value-nya jauh lebih kecil meski total benefit akhirnya lebih besar.

Kalau digambarkan dalam grafik, biayanya seperti tongkat hockey: datar-datar saja di awal karir, terus tiba-tiba melengkung tajam ke atas di 10-15 tahun terakhir sebelum pensiun.

Real Case: Perusahaan BUMN

PT PLN (Persero), perusahaan BUMN terbesar di sektor ketenagalistrikan Indonesia, memberikan ilustrasi nyata tentang fenomena anomali biaya jasa kini. Berdasarkan Annual Report 2023 yang telah diaudit, PLN mengalami lonjakan beban kepegawaian yang sangat signifikan:

Data Faktual:

  • Beban Kepegawaian 2022: Rp 24,88 triliun
  • Beban Kepegawaian 2023: Rp 32,36 triliun
  • Kenaikan: Rp 7,47 triliun atau 30% dalam satu tahun

Yang menarik, kenaikan biaya ini terjadi padahal:

  • Jumlah karyawan 2022: 42,151 karyawan
  • Jumlah karyawan 2023: 38,542 karyawan
  • Perubahan: Turun 3,609 karyawan (penurunan 8,6%)

Kalau kita hitung rata-rata biaya per karyawan:

  • 2022: Rp 24,88 T ÷ 42,151 = sekitar Rp 590 juta per karyawan
  • 2023: Rp 32,36 T ÷ 38,542 = sekitar Rp 840 juta per karyawan
  • Kenaikan biaya per karyawan: 42% year-over-year

Paradoks yang Mencengangkan:

Inilah contoh sempurna dari anomali biaya jasa kini:

  • Jumlah karyawan turun 8,6%
  • Total beban kepegawaian naik 30%
  • Biaya rata-rata per karyawan melonjak 42%

Apa yang Terjadi?

Dari catatan atas laporan keuangan PLN 2023, terlihat bahwa PLN memiliki liabilitas imbalan kerja (employee benefits liabilities) yang sangat besar—sekitar Rp 70 triliun. Ini mencakup program imbalan pasca kerja dengan skema manfaat pasti untuk ribuan karyawan.

Yang lebih menarik lagi, pada tahun 2022, PLN mencatat remeasurement loss sebesar Rp 15,71 triliun dalam penghasilan komprehensif lain. Loss ini mengindikasikan adanya perubahan besar dalam asumsi aktuaria—kemungkinan besar terkait dengan:

  1. Penurunan tingkat diskonto (akibat pergerakan yield obligasi)
  2. Perubahan asumsi demografis (usia rata-rata workforce yang makin tua)
  3. Proyeksi kenaikan gaji yang disesuaikan

Di tahun 2023, meski ada remeasurement gain sebesar Rp 5,72 triliun (reversal sebagian dari loss tahun sebelumnya), beban kepegawaian actual tetap naik 30%. Ini menunjukkan bahwa biaya jasa kini (current service cost) yang harus diakui setiap tahun terus meningkat seiring dengan struktur demografis karyawan yang makin mendekati usia pensiun.

Analisis Aktuaria:

PLN adalah contoh klasik perusahaan dengan:

  • Workforce yang sudah mature (banyak karyawan senior)
  • Program defined benefit yang generous
  • Base gaji yang terus meningkat setiap tahun

Kombinasi ketiga faktor ini menciptakan perfect storm untuk anomali biaya jasa kini. Meskipun jumlah karyawan turun sedikit, total beban justru naik drastis karena:

  • Karyawan yang tersisa kebanyakan adalah senior employees dengan gaji tinggi
  • Proyeksi benefit mereka sudah mendekati nilai maksimal
  • Periode diskonto makin pendek karena dekat dengan usia pensiun

Kasus PLN ini bukan anomali statistik—ini adalah realitas matematis dari program imbalan pasca kerja di perusahaan dengan aging workforce. Dan PLN bukan satu-satunya BUMN yang mengalami ini.

Strategi Mengatasi Anomali Ini

1. Redesign Formula Benefit

Daripada pakai gaji akhir yang sensitif terhadap efek compound, pertimbangkan:

  • Career average salary: rata-rata gaji selama karir
  • Final average salary: rata-rata 3-5 tahun terakhir

Ini bisa mengurangi volatilitas biaya secara signifikan.

2. Terapkan Benefit Cap

Tetapkan batas maksimal perhitungan benefit, misalnya:

  • Manfaat maksimal dihitung hanya untuk gaji sampai Rp50 juta
  • Atau maksimal 30 tahun masa kerja yang dihitung
  • Ini membatasi eksposur maksimal perusahaan

3. Strategi SDM: Regenerasi Aktif

Ini yang sering dilupakan tapi sangat penting. Perusahaan perlu lebih agresif dalam rekrutmen generasi muda. Kalau terlalu lama tidak merekrut karyawan baru:

  • Workforce makin tua
  • Biaya jasa kini makin tinggi
  • Akan terjadi “tebing demografis” saat masa pensiun massal

Keseimbangan antara karyawan senior dan junior bukan cuma soal transfer knowledge, tapi juga sustainability finansial program benefit.

4. Transisi ke Hybrid Plan

Pertimbangkan model hybrid:

  • Tetap pakai defined benefit untuk masa kerja sampai titik tertentu (misalnya 15 tahun pertama)
  • Setelah itu beralih ke defined contribution

Ini membatasi eksposur perusahaan terhadap biaya yang melonjak, sambil tetap memberikan keamanan kepada karyawan untuk awal masa kerja mereka.

Proyeksi dan Perencanaan Jangka Panjang

Peran aktuaris sangat krusial di sini. Proyeksi skenario demografis untuk 10-15 tahun ke depan harus jadi bagian dari strategic planning, bukan cuma untuk compliance laporan keuangan tahunan.

Perusahaan yang proaktif akan melakukan stress testing:

  • Bagaimana kalau tidak ada hiring baru selama 5 tahun?
  • Bagaimana kalau voluntary turnover turun drastis karena ekonomi lesu?
  • Bagaimana kalau ada PHK massal untuk efisiensi?

Skenario-skenario ini membantu board of directors dan manajemen membuat keputusan yang tepat tentang struktur benefit yang sustainable tanpa mengorbankan daya tarik sebagai employer.


Anomali biaya jasa kini pada workforce yang menua adalah reminder bahwa program imbalan pasca kerja bukan cuma soal teknis aktuaria atau compliance accounting. Ini adalah strategic business issue yang memerlukan perhatian serius dari C-level executives dan harus diintegrasikan dengan strategi manajemen talenta keseluruhan.

Perusahaan yang memahami dinamika ini sejak dini bisa mengambil langkah antisipatif—baik melalui redesign benefit, kebijakan SDM, atau kombinasi keduanya—untuk menghindari shock finansial di masa depan. Yang pasti, mengabaikan demografi workforce sama dengan mengabaikan bom waktu finansial yang terus berdetak.

Share your love

Chat with Us!