PSAK 24 merupakan standar akuntansi yang mengatur pengakuan, pengukuran, dan pelaporan kewajiban imbalan kerja. Imbalan kerja sendiri dapat mencakup gaji, tunjangan, pesangon, serta manfaat pensiun. Pentingnya pemahaman dasar hukum dalam penerapan PSAK 24 tidak hanya berdampak pada ketepatan pelaporan keuangan, tetapi juga membantu perusahaan menghindari risiko hukum dan sanksi akibat ketidakpatuhan terhadap regulasi yang berlaku, beberapa di antaranya:
-
Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003)
Undang-undang ini menjadi landasan bagi hak-hak karyawan, termasuk pesangon dan manfaat pensiun. Dalam konteks PSAK 24, perusahaan wajib mengacu pada UU Ketenagakerjaan untuk memastikan keseimbangan antara pemenuhan hak karyawan dan kepatuhan terhadap standar akuntansi. -
Peraturan Pemerintah (PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan)
PP ini memberikan panduan mengenai perhitungan dan pembayaran imbalan kerja secara adil sesuai standar yang berlaku, mendukung penerapan PSAK 24. -
Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020)
UU ini mengubah ketentuan mengenai pesangon dalam UU Ketenagakerjaan, termasuk terkait besaran pesangon yang diberikan kepada pekerja yang menjadi korban PHK. Juga, menekankan penyesuaian perhitungan aktuaria untuk menghindari overcost dan overtaxation, sehingga kewajiban aktuaria dapat dikelola dengan benar sesuai standar akuntansi. -
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA)
PP ini menyatakan bahwa TKA tidak berhak atas kompensasi yang biasanya diberikan kepada karyawan lokal setelah kontrak kerja berakhir. Hal ini berarti perusahaan tidak perlu mencatat kewajiban imbalan kerja berupa uang kompensasi untuk TKA, sehingga mengurangi beban kewajiban jangka pendek perusahaan. -
Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021
PP ini memperbarui ketentuan terkait hubungan kerja, alih daya, waktu kerja, serta pemutusan hubungan kerja. Termasuk dalam regulasi ini adalah ketentuan kompensasi pekerja yang terkena PHK, termasuk pesangon dan imbalan lainnya, yang harus dicatat sesuai standar akuntansi. -
Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2023
UU ini mengatur perhitungan aktuaria untuk imbalan kerja, memastikan kewajiban perusahaan terhadap karyawan terpenuhi, dengan menekankan pengakuan liabilitas imbalan kerja saat karyawan layak menerimanya. -
Standar Internasional (IAS 19 – Employee Benefits dalam IFRS)
IAS 19 berperan sebagai rujukan bagi PSAK 24 demi harmonisasi dengan standar global. Meskipun tidak sepenuhnya identik, penerapan IAS 19 dapat membantu perusahaan multinasional menyelaraskan laporan keuangan di berbagai yurisdiksi. -
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) dan Peraturan Terkait Lainnya
Bagi perusahaan yang bergerak di sektor keuangan, POJK mengatur tata kelola dan laporan keuangan. Regulasi ini berpengaruh pada cara perusahaan menyajikan kewajiban imbalan kerja agar tetap transparan dan meminimalkan risiko sistemik.
Dasar Hukum Imbalan Kerja yang Berlaku
Rumus manfaat imbalan kerja yang masih digunakan hingga kini diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 dan UU Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2023. Kedua regulasi ini memastikan perusahaan mencatat kewajiban imbalan kerja dengan akurat sesuai dengan hak karyawan.
Dasar hukum di atas memainkan peranan penting dalam memastikan bahwa PSAK 24 diterapkan dengan benar. Pemahaman yang memadai terhadap regulasi ketenagakerjaan, standar akuntansi, serta ketentuan dari otoritas terkait sangat diperlukan agar perusahaan tidak menghadapi sanksi dan dapat menjaga reputasinya. Perusahaan dapat bekerja sama dengan konsultan aktuaria untuk memastikan kepatuhan terhadap standar akuntansi dan hukum yang berlaku. Dengan demikian, laporan keuangan menjadi lebih akurat, dapat dipercaya, serta meminimalkan risiko hukum maupun finansial bagi perusahaan.
Informasi terbaru bahwa PSAK 24 mengalami perubahan nomenklatur menjadi PSAK 219 menjadi acuan utama bagi perusahaan dalam menetapkan metode perhitungan dan pengakuan kewajiban imbalan kerja. Standar ini menuntut perusahaan untuk menggunakan metode aktuaria seperti Projected Unit Credit Method, serta memperhitungkan faktor-faktor seperti tingkat diskonto asumsi aktuaria dari sisi demografis maupun finansial. PSAK 219 juga dirancang untuk mengatasi beberapa keterbatasan yang ada dalam PSAK 24, terutama terkait penyesuaian asumsi aktuaria dan pengukuran kewajiban. Perubahan nomenklatur ini akan berlaku secara efektif pada 1 Januari 2025, memberikan waktu bagi perusahaan untuk menyesuaikan diri dengan panduan baru yang lebih komprehensif dan relevan.
Dalam dunia yang terus berkembang dan semakin terintegrasi secara global, standar akuntansi dan pelaporan keuangan juga harus beradaptasi agar tetap relevan dan akurat. Salah satu bentuk adaptasi ini mencerminkan komitmen Indonesia untuk terus meningkatkan transparansi dan konsistensi dalam pelaporan keuangan, khususnya dalam hal imbalan kerja.