ESG Disclosure 2025: CSRD Compliance dan Imbalan Pasca Kerja

Tahun 2025 menandai titik balik bagi pelaporan keberlanjutan perusahaan di seluruh dunia. Corporate Sustainability Reporting Directive (CSRD) yang mulai berlaku mandatory membawa perubahan fundamental dalam bagaimana perusahaan melaporkan komitmen Environmental, Social, dan Governance (ESG) mereka. Namun, satu pertanyaan krusial sering terabaikan: apakah perhitungan imbalan pasca kerja menurut PSAK 24 (sekarang PSAK 219) sudah siap untuk scrutiny komitmen yang ketat?

Social Factor: Pilar Terlupakan dalam ESG

Ketika membicarakan ESG, banyak perusahaan terjebak pada narasi lingkungan—pengurangan emisi karbon, energi terbarukan, atau pengelolaan limbah. Padahal, survei PwC menunjukkan hampir 80% investor menganggap ESG sebagai faktor penting dalam keputusan investasi, dan 75% karyawan menyatakan faktor Social cukup krusial saat memilih employer. Di dalam kategori Social inilah imbalan karyawan memegang peran sentral.

PSAK 219 mengatur standar akuntansi untuk imbalan kerja, khususnya program pensiun dan benefit ketika karyawan berhenti bekerja. Standar ini bukan sekadar kepatuhan regulasi lokal—ini adalah bukti konkret bagaimana perusahaan menghargai kontribusi karyawan dalam jangka panjang. Dalam hal sustainability disclosure, angka-angka aktuaria  ini menjadi indikator material tentang seberapa serius perusahaan memperlakukan workforce mereka.

Double Materiality: Ketika Finansial Bertemu Social Impact

Prinsip double materiality dalam CSRD mengharuskan perusahaan melaporkan dua dimensi: dampak finansial dari isu sustainability terhadap perusahaan, DAN dampak operasi perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan. Liabilitas imbalan pasca kerja sempurna menggambarkan konsep ini.

Dari sisi financial materiality, defined benefit obligation (DBO) yang dihitung aktuaris bisa mencapai miliaran rupiah dan signifikan mempengaruhi laporan keuangan. Dari sisi impact materiality, program pensiun yang memadai menunjukkan bagaimana perusahaan melindungi kesejahteraan karyawan bahkan setelah mereka pensiun. Kedua aspek ini harus disclosed secara transparan dalam sustainability report.

Gap Disclosure Dari UU Cipta Kerja hingga Company Policy

Banyak perusahaan Indonesia saat ini menghadapi kompleksitas regulasi imbalan kerja—ada UU Ketenagakerjaan No. 13/2003, UU Cipta Kerja (UUCK), dan kebijakan internal perusahaan. Kantor konsultan aktuaria berperan penting membantu perusahaan memetakan gap antara minimum legal requirement dengan actual company policy.

Dalam framework ESG, enhancement benefit di atas ketentuan UUCK justru menjadi pembeda. Misalnya, perusahaan yang memberikan withdrawal benefit lebih baik dari yang dipersyaratkan undang-undang menunjukkan komitmen serius terhadap employee welfare. Ini bukan sekadar compliance—ini adalah strategic positioning dalam talent war.

Membangun Kredibilitas ESG Melalui Data Aktuaria

Transformasi PSAK ini dari kewajiban akuntansi menjadi aset strategis ESG membutuhkan pendekatan berbeda. Bukan lagi soal “apakah sudah hitung liabilitas,” tapi “bagaimana angka ini bercerita tentang komitmen perusahaan.”

Ubah mindset: actuarial valuation bukan ritual tahunan, melainkan dashboard real-time untuk mengukur kesehatan program benefit. Kantor konsultan aktuaria terbaik kini menawarkan lebih dari angka DBO—mereka membantu menerjemahkan actuarial metrics menjadi narrative yang relevan untuk sustainability report. Service cost yang meningkat bisa diposisikan sebagai investasi dalam workforce resilience.

Yang sering terlupakan: karyawan adalah stakeholder pertama dalam ESG journey. Perusahaan progresif kini membuat “Benefit Transparency Portal” di mana karyawan bisa melihat estimasi benefit mereka. Ini bukan hanya memenuhi tuntutan Gen Z akan keterbukaan, tapi juga mengurangi anxiety tentang masa depan finansial—sesuatu yang directly impact produktivitas.

Selanjutnya, posisikan data sebagai bridge antara CFO dan Chief Sustainability Officer. Ketika sustainability report menyebut “employee well-being,” backed it up dengan funding ratio dari program pensiun. Ketika laporan tahunan mencatat kenaikan liabilitas benefit, konteksnya: ini bukan red flag, ini bukti perusahaan memperluas coverage. Hubungan antara disclosure finansial dan non-finansial menghilangkan skeptisisme investor.

Anti-Greenwashing: Verifiable Data adalah Kunci

Regulasi anti-greenwashing semakin ketat di 2025, dengan denda mencapai 10% dari omzet global untuk klaim ESG yang menyesatkan. Laporan aktuaria memberikan bukti nyata yang terverifikasi secara independen—ini bukan marketing statement, tapi angka yang di-audit dan bisa dipertanggungjawabkan.

Investor ESG-conscious tidak lagi puas dengan statement umum seperti “kami peduli karyawan.” Mereka menuntut metrics: berapa DBO-nya, bagaimana funding status-nya, apa saja assumptions yang digunakan, dan bagaimana perbandingannya dengan market practice. Di sinilah pentingnya bekerja sama dengan kantor konsultan aktuaria yang memahami intersection antara ilmu aktuaria dan sustainability reporting framework.

Keypoint: PSAK 24 sebagai ESG Enabler

Disclosure ini bukan lagi opsional—ini adalah business imperative. Perusahaan yang mengintegrasikan imbalan pasca kerja PSAK 24 ke dalam sustainability reporting tidak hanya memenuhi compliance, tapi juga membangun competitive advantage dalam menarik talent, meyakinkan investor, dan memperkuat reputasi sebagai employer of choice. Tahun 2025 adalah momentum untuk menjadikan akuntansi aktuaria sebagai aset strategis dalam narasi ESG perusahaan Anda.

Share your love

Chat with Us!