Imbalan Kerja terhadap Karyawan Outsource

Praktik outsourcing, atau penggunaan karyawan outsource, masih menjadi strategi yang umum diterapkan oleh banyak perusahaan di Indonesia. Meski dianggap efektif untuk mendukung efisiensi bisnis, sistem ini sering menuai diskusi hangat, terutama terkait imbalan kerja dan hak-hak pekerja.

Skema pekerja alih daya ini di Indonesia sudah berlangsung sejak masa penjajahan Hindia Belanda, saat tenaga kerja lokal dipakai sebagai buruh kontrak tanpa jaminan kesejahteraan yang layak. Praktik ini terus berlanjut dan berkembang pesat pada era pasar bebas dan globalisasi, khususnya setelah krisis moneter tahun 1998.

Hingga kini, skema outsourcing kerap dipilih perusahaan untuk menekan biaya operasional. Sayangnya, di balik keuntungan finansial bagi perusahaan, para tenaga kerja outsource sering kali menerima imbalan kerja yang berbeda dengan pegawai tetap, terutama terkait tunjangan pensiun.

Apa Itu Outsourcing?

Outsourcing, atau dalam istilah Indonesia sering disebut alih daya, adalah skema kerja di mana perusahaan pengguna tenaga kerja menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa tenaga kerja.

Secara historis, praktik outsourcing di Indonesia sudah ada sejak era kolonial Hindia Belanda. M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1994) menulis bagaimana sistem buruh kontrak diterapkan secara masif untuk menopang bisnis perkebunan kolonial. Setelah kemerdekaan, praktik ini sempat meredup, tetapi kembali marak pada awal 1990-an seiring liberalisasi pasar bebas.

Skema kerja ini sempat diterapkan lagi oleh sejumlah perusahaan kala 1990-an. Praktik tersebut digunakan dengan alasan menjaga ekonomi pasar bebas. Perusahaan lain pun ikut mengontrak tenaga kerja alih daya sehingga praktiknya kembali meluas di Indonesia.

Puncaknya, pasca krisis moneter 1998, kebutuhan akan tenaga kerja fleksibel mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU ini ditandatangani secara resmi oleh Presiden Megawati Sukarnoputri dalam rangka mengakui praktik outsourcing di Indonesia.

Regulasinya di Indonesia

Beberapa pasal penting dalam UU No. 13 Tahun 2003 mengenai outsourcing di Indonesia, antara lain:

Pasal 64

“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”

Pasal 65 ayat (2)

Mengatur bahwa pekerjaan yang dialihdayakan harus memenuhi syarat:

  • Terpisah dari kegiatan utama.

  • Dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung di bawah perintah pemberi kerja.

  • Tidak menghambat proses produksi.

Pasal 66 ayat (1)

“Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.”

Pasal 66 ayat (2)

Mewajibkan adanya:

  • Hubungan kerja formal antara pekerja dengan perusahaan outsourcing.

  • Perjanjian kerja (PKWT atau PKWTT).

  • Perlindungan upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial.

Bagaimana Sistem Kerjanya?

Pekerja outsource direkrut oleh vendor outsourcing dan kemudian ditugaskan ke perusahaan pengguna jasa. Terdapat dua skema kontrak:

  • PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu): Kontrak terbatas sesuai durasi proyek.

  • PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu): Kontrak tetap, namun tetap berstatus karyawan vendor, bukan karyawan perusahaan pengguna jasa.

Jenis-jenis pekerjaan outsourcing umumnya mencakup:

  • Petugas kebersihan.

  • Keamanan.

  • Call center.

  • Penyedia katering.
  • Sopir/kurir.

  • Petugas logistik dan manajemen fasilitas.

  • Pekerja pabrik.

Imbalan Kerja bagi karyawan Outsource

Tenaga kerja outsource tetap memiliki hak atas upah minimum, jam kerja yang manusiawi, dan jaminan sosial sesuai Pasal 99 dan 100 UU Ketenagakerjaan. Mereka wajib diikutkan BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, termasuk Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).

Namun, di lapangan, jaminan pensiun dan jaminan hari tua (JHT) sering menjadi polemik.

Masalahnya:

  • Tidak ada pasal khusus yang secara eksplisit mengatur kewajiban perusahaan pengguna jasa untuk membayar manfaat pensiun.

  • Status tenaga kerja outsource berbeda dengan karyawan tetap internal.

  • Dana pensiun sering “dianggap” terwakili oleh DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) atau pesangon yang dibayarkan di akhir kontrak.

Padahal, menurut PP No. 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun, setiap pekerja formal seharusnya didaftarkan ke program jaminan pensiun jika hubungan kerjanya bersifat tetap dan memenuhi syarat kepesertaan minimal satu bulan berturut-turut.

Dalam praktiknya, banyak vendor tidak menanggung kewajiban ini secara penuh, sehingga pekerja outsource harus menyiapkan dana hari tua sendiri.

Konsekuensi terkait Outsourcing bagi Perusahaan

Perusahaan pengguna jasa memperoleh keuntungan efisiensi, misalnya:

Namun, di sisi lain ada risiko seperti:

  • Ketergantungan pada pihak ketiga.

  • Potensi kebocoran data.

  • Tanggung jawab sosial yang dapat berdampak pada reputasi perusahaan bila pekerja outsource merasa haknya dilanggar.

Praktik outsourcing memang sah di mata hukum. Namun, agar imbalannya adil, revisi regulasi dan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan pasal-pasal UU No. 13 Tahun 2003 dan PP No. 45 Tahun 2015 perlu diperkuat.

Perusahaan pemberi kerja juga diimbau memberikan imbalan kerja tambahan di luar kewajiban minimal sebagai bentuk tanggung jawab sosial, demi mendukung kesejahteraan pekerja outsource di masa depan.

Share your love

Chat with Us!