Alert! Zona Abu-Abu Imbalan Kerja PSAK 219 saat M&A

Dalam praktik aktuaria imbalan kerja berdasarkan PSAK 219, perhitungan kewajiban perusahaan terhadap karyawan tidak semata-mata soal angka—ia juga menyentuh dimensi keadilan yang sering terabaikan. Bayangkan Anda sudah bekerja 15 tahun di sebuah perusahaan. Tiba-tiba perusahaan diakuisisi oleh investor baru. Masa kerja Anda di-reset ke nol. Perhitungan pesangon yang seharusnya 9 bulan gaji, kini hanya 1 bulan. Adil? Sayangnya, ini terjadi lebih sering dari yang kita kira.

Isu pergantian kepemilikan perusahaan dan dampaknya terhadap imbalan kerja karyawan adalah salah satu topik yang jarang dibahas secara mendalam, padahal implikasinya sangat besar—baik dari sisi hukum maupun keuangan perusahaan.

Ketika Kepemilikan Berubah, Siapa yang Menanggung Beban?

Masalah mendasarnya sederhana: saat perusahaan A membeli perusahaan B, apakah pembeli wajib menanggung seluruh kewajiban imbalan kerja karyawan lama? Jawabannya: tergantung.

Dalam praktiknya, ada tiga skenario yang biasa terjadi. Pertama, transfer karyawan langsung dengan pengakuan penuh masa kerja lama. Kedua, PHK massal dengan pesangon penuh, lalu penawaran kontrak baru sebagai “karyawan baru”. Ketiga, yang paling abu-abu: negosiasi ulang kontrak dengan “pengakuan sebagian” masa kerja.

Kebanyakan perusahaan memilih opsi kedua atau ketiga—bukan tanpa alasan. Dari sudut pandang akuntansi berbasis PSAK 219 (dulu PSAK 24), kewajiban imbalan pasca kerja adalah liabilitas besar yang harus dicatat di neraca. Untuk perusahaan dengan ratusan karyawan senior, angkanya bisa mencapai puluhan miliar rupiah.

Perspektif Hukum: Apa Kata Regulasi?

Dari sisi hukum ketenagakerjaan Indonesia, ada beberapa landasan yang perlu dipahami:

UU Cipta Kerja (UU 11/2020) dan turunannya PP 35/2021 sebenarnya mengatur bahwa perubahan kepemilikan perusahaan TIDAK otomatis memutus hubungan kerja. Pasal 42 PP 35/2021 menyebutkan bahwa pengusaha dapat melakukan PHK karena perubahan status perusahaan, tetapi dengan syarat membayar pesangon sesuai ketentuan.

Ini artinya, secara hukum ada dua skenario:

  1. Transfer of Undertaking: Karyawan otomatis ikut berpindah ke pemilik baru dengan masa kerja tetap diakui
  2. PHK dan Re-hire: Karyawan di-PHK dulu (dengan pesangon penuh), baru ditawari kontrak baru

Yang menjadi perdebatan adalah: perusahaan mana yang lebih sering memilih opsi pertama? Sayangnya, opsi kedua lebih populer karena “membersihkan” kewajiban jangka panjang.

Dimensi Akuntansi yang Diabaikan

Dari perspektif akuntansi (PSAK 219), pergantian kepemilikan menciptakan kompleksitas tersendiri. Ketika terjadi akuisisi, pembeli harus mengakui liabilitas imbalan pasca kerja dalam laporan keuangannya—yang bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah untuk perusahaan besar.

Inilah mengapa banyak akuisitor lebih suka melakukan “clean slate”: PHK seluruh karyawan, bayar pesangon, lalu rekrut ulang dengan kontrak baru. Secara akuntansi, ini menghilangkan liabilitas jangka panjang dari neraca.

Namun, praktik ini menciptakan beban kas immediate yang besar (pembayaran pesangon sekaligus) versus beban aktuaria bertahap yang lebih terukur. Perusahaan harus mempertimbangkan trade-off ini dengan matang.

Gap Antara Legal dan Etis

Persoalan sebenarnya bukan pada legalitas, tetapi pada keadilan. Seorang karyawan yang sudah mengabdi 20 tahun, tiba-tiba harus “memulai lagi dari nol” hanya karena perusahaan berganti pemilik—meskipun ia tetap bekerja di tempat yang sama, dengan atasan yang sama, melakukan pekerjaan yang sama.

Misalnya, sebuah perusahaan manufaktur di Jawa Barat diakuisisi tahun 2018. Seluruh 450 karyawan di-PHK dengan pesangon sesuai UU. Seminggu kemudian, 380 karyawan ditawari kontrak baru—tetapi dengan status PKWT (kontrak) selama 2 tahun. Masa kerja lama tidak diakui sama sekali.

Legal? Ya. Etis? Sangat dipertanyakan.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Untuk karyawan: pahami hak Anda. Minta penjelasan tertulis tentang status masa kerja saat terjadi perubahan kepemilikan. Konsultasikan dengan serikat pekerja atau konsultan hukum ketenagakerjaan.

Untuk perusahaan: pertimbangkan pendekatan “transfer of undertaking” yang lebih adil. Dampak reputasi dan moral karyawan dari praktik PHK-massal sangat nyata. Hemat di akuntansi, mahal di produktivitas.

Untuk regulator: perlu aturan lebih tegas yang melindungi kontinuitas masa kerja karyawan dalam situasi M&A, dengan sanksi jelas bagi pelanggar.


Imbalan kerja saat pergantian kepemilikan adalah zona abu-abu yang perlu pencerahan. Legalitas bukan satu-satunya ukuran. Keadilan, keberlanjutan, dan tanggung jawab sosial perusahaan harus menjadi pertimbangan utama.

Karena pada akhirnya, karyawan yang merasa dihargai adalah aset terbesar perusahaan—berapapun kepemilikan sahamnya berubah.

Share your love

Chat with Us!